Respons terhadap bau pertama (garis biru di panel atas) terdiri dari komponen cepat (garis merah; turunan kedua dari konsentrasi bau) dan komponen lambat (garis kuning; turunan pertama). Sebaliknya, respons setelah pengalaman pemaparan (panel bawah) hanya terdiri dari komponen yang lambat, yang menghasilkan gerakan menjauh dari bau yang lebih efisien. Kredit: Laboratorium Kimura @ Universitas Kota Nagoya
Manusia dan hewan mendeteksi rangsangan yang berbeda seperti cahaya, suara, dan bau melalui sel saraf, yang kemudian mengirimkan informasi tersebut ke otak. Sel-sel saraf harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai rangsangan yang mereka terima, yang berkisar dari sangat lemah hingga sangat kuat. Untuk melakukan ini, mereka mungkin menjadi lebih atau kurang peka terhadap rangsangan (sensitisasi dan habituasi), atau mereka mungkin menjadi lebih peka terhadap rangsangan yang lebih lemah dan kurang peka terhadap rangsangan yang lebih kuat untuk respons keseluruhan yang lebih baik (mendapatkan kendali). Namun, bagaimana tepatnya hal ini terjadi belum dipahami.
Untuk lebih memahami proses mendapatkan kendali, tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Kimura di Nagoya City University di Jepang mempelajari cacing gelang C. elegans. Mereka menemukan bahwa, ketika cacing pertama kali mencium bau yang tidak sedap, sel-sel sarafnya menunjukkan respons yang besar, meningkat dengan cepat, dan terus menerus terhadap rangsangan yang lemah dan kuat.
Namun, setelah terpapar bau, responsnya lebih kecil dan lebih lambat terhadap rangsangan yang lemah tetapi tetap besar terhadap rangsangan yang kuat, serupa dengan respons terhadap paparan bau yang pertama. Karena pengalaman paparan bau menyebabkan pergerakan cacing yang lebih efisien menjauh dari bau, sel-sel saraf telah mengubah responsnya untuk beradaptasi dengan lebih baik terhadap rangsangan dengan menggunakan kendali penguatan.
Kemudian peneliti menggunakan pemodelan matematika untuk memahami proses ini. Pemodelan matematika adalah alat yang ampuh yang dapat digunakan untuk lebih memahami proses biologis yang kompleks. Mereka menemukan bahwa “respons terhadap penciuman pertama” terdiri dari komponen cepat dan lambat, sedangkan “respons setelah paparan” hanya terdiri dari komponen lambat, yang berarti bahwa pengalaman penciuman menghambat komponen cepat untuk mendapatkan kendali.
Mereka lebih lanjut menemukan bahwa kedua respons dapat dijelaskan dengan persamaan diferensial sederhana dan bahwa komponen lambat dan cepat sesuai dengan integrasi yang bocor dari suku turunan pertama dan kedua dari konsentrasi bau yang masing-masing dirasakan oleh cacing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman bau sebelumnya hanya muncul untuk menghambat mekanisme yang dibutuhkan komponen cepat.
Berdasarkan hasil ini, tim peneliti lebih lanjut berasumsi bahwa respon sel saraf yang berbeda untuk mendapatkan kendali dapat diatur oleh proses yang relatif sederhana yang melibatkan gen. Mereka kemudian memang menemukan satu set gen (pengatur protein G dan protein kinase G) yang diperlukan untuk proses tersebut.
Hasil penelitian ini merupakan penggunaan pemodelan matematika yang mendalam untuk menjelaskan dasar aktivitas sel saraf dan menunjukkan potensi untuk memperluas pemahaman kita tentang fenomena kehidupan dengan menggabungkan model matematika dengan berbagai percobaan biologis.
“Hasil pemodelannya benar-benar mengejutkan,” kata Prof. Kimura. “Karena beberapa aspek dari respons sel saraf berbeda, kami berharap proses yang lebih rumit akan terlibat. Model sederhana mendorong kami untuk menemukan gen kunci yang mengubah semua aspek perbedaan, dan kami pikir kami berhasil melakukannya.”
Kesimpulannya, penelitian ini menyoroti pentingnya pemodelan matematika dalam pemahaman yang lebih baik tentang proses biologis yang kompleks. Dengan menggabungkan model matematika dengan eksperimen biologi, peneliti dapat memperoleh wawasan baru tentang cara sel dan organisme berfungsi dan mengusulkan eksperimen baru, yang mungkin tidak dapat dilakukan tanpa pemodelan. Ini pada akhirnya dapat mengarah pada terobosan baru di bidang biologi dan kedokteran.
Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Neuroscience Research.
Informasi lebih lanjut: Yosuke Ikejiri et al, Neural mechanism of experience-dependent sensory gain control in C. elegans, Neuroscience Research (2023). DOI: 10.1016/j.neures.2023.01.006
Disediakan oleh Universitas Kota Nagoya
Kutipan: Pemodelan matematika menghubungkan perilaku responsif-bau, aktivitas saraf, dan gen (2023, 24 Februari) diambil 25 Februari 2023 dari https://medicalxpress.com/news/2023-02-mathematical-links-odor-responsive-behavior-neural .html
Dokumen ini tunduk pada hak cipta. Terlepas dari kesepakatan yang adil untuk tujuan studi atau penelitian pribadi, tidak ada bagian yang boleh direproduksi tanpa izin tertulis. Konten disediakan untuk tujuan informasi saja.